5 Februari 2016
Berbicara mengenai “pindah”
, pasti banyak yang menyangkut-pautkan dengan meniggalkan tempat lama menuju
tempat baru. Suasana lama menuju suasana baru. Keadaan buruk menuju keadaan
yang lebih baik. Bahkan sampai ada pula yang menggambarkan definisi pindah ini
seperti “dari hati yang lama ke hati yang baru” atau yang lebih dikenal dengan “move on” . Memang banyak makna dari “pindah”
ini.
Hanya saja, apa
yang ingin saya utarakan di sini bukanlah pindah seperti hal di atas. Tapi saya
tak menampik bahwa saya memang telah melakukan banyak perpindahan. Mulai dari
yang sederhana sampai yang menurut saya itu cukup rumit. Yang sederhana
contohnya ya…. Seperti kenaikan tingkat, dari Taman Kanak-Kanak, kemudian
sekolah dasar, lalu SMP menuju SMA, dan sekarang ternyata sudah masuk ke
tingkat yang lebih tinggi. Itu yang sederhana.
Lantas, apa yang
akan saya utarakan? Saya ingin mengutarakan bahwa, saya belajar banyak hal dari
perpindahan ini. Seperti, ketika saya tak ingin pindah, namun kondisi berkata
bahwa saya harus pindah. Saya tak bisa diam di situ saja. Hanya saja, rasanya
berat, karena satu faktor. Ya, faktor itu merupakan penghambat terbesar menurut
saya, faktor kenyamanan. Karena ketika kita sudah nyaman terhadap suatu hal,
pasti sulit untuk meninggalkannya. Ya, begitu juga dengan saya. Kondisi itu
sama seperti ketika kita mencari rumah baru. Sulit. Sulit cari yang pas. Tapi,
hidup itu terus berjalan bung. Kita ngga bisa diam aja. Ketika hidup terus
berjalan, dan kita diam, itu sama saja seperti zombie saya rasa hahaha. Have no
means in life.
Maka, saya berusaha
untuk pindah. Hal itu memakan waktu yang lama. Sampai kurang lebih setahun
lamanya. Dan selama setahun lamanya itu, saya bergelut dengan hati dan pikiran
saya. Mencoba menyingkronkan satu dengan yang lainnya. Mereka bilang, wanita
itu pakainya hati. Tapi tidak dengan saya, maka saya membawa hati saya, tanpa
meninggalkan otak saya. Terkadang goyah, tapi itu sudah menjadi pilhan saya
bahwa saya harus pindah. Sempat berpikir untuk balik kanan menuju tempat
semula, tempat yang membuat saya nyaman. Bahkan sempat hampir selangkah lagi
saya berada di tempat yang sama itu. Tapi, saya tersadar. Jika saya kembali ke
tempat yang sama, tidak akan ada yang berubah. Tempat itu mengharuskan saya
untuk pergi. Tempat itu tidak sesuai dengan harapan saya. Dan bodohnya, kenapa saya
ingin bertahan di tempat yang tak sesuai dengan harapan saya? Iya, simple. Nyaman.
Lihat?
Kenyamanan bisa membuat seseorang menjadi “bodoh” hahahaha. Memang, yang berat
itu bukan memilih, tapi yang berat itu adalah bertahan pada pilihan.
Pada akhirnya, saya hanya perlu
menghempaskan segalanya. Sakit memang. Tapi akhirnya saya berhasil untuk
pindah. IYA, SAYA BERHASIL. Berhasil pindah, namun belum ada tempat yang
menjadi tujuan selanjutnya. Selama hampir setahun, tempat baru itu belum saya
temukan. Iya, memang sulit menggantikan sesuatu yang berarti bagi kita dengan
sesuatu yang baru. Rasanya takut, saya terlalu takut untuk memulai kembali. Maka,
terkadang saya berpikir, haruskah saya menjadi seorang yang dingin? Haruskah
saya membangun dinding pembatas agar saya terlindungi? Iya, dan tanpa saya
sadari, rasa takut itu mulai membangun dinding pembatas untuk saya dan mereka. Hingga
menjelang akhir tahun 2015, di bulan desember, dinding pembatas itu mulai
rapuh. Terus merapuh hingga menjelang akhir tahun. Dan saya membiarkannya
rapuh, hingga runtuh. Tak ada lagi dinding pembatas. Dan ternyata, tanpa saya
sadari saya telah berada di sebuah tempat yang baru. Memang tak senyaman tempat
yang dulu, tapi saya merasa terlindungi di tempat yang baru ini. There’s a hope
in this new place.
Tapi, hanya sampai di awal januari ini saya berada di tempat
baru itu. Tempat yang awalnya begitu berkilau, tempat yang pada awalnya begitu
teduh dan menenangkan namun seketika, tempat itu seperti tempat yang asing bagi
saya. Saya putuskan untuk mulai menjaga jarak dengan tempat baru ini, karena
saya tak ingin terjatuh dalam hal yang sama. Hingga akhirnya saya putuskan untuk
beranjak dari tempat baru itu dan mulai membangun kembali dinding pembatas, kali
ini dindingnya tak terlalu tinggi seperti semula. Dibuat tak terlalu tinggi
karena saya masih ingin kembali ke tempat baru yang telah saya tinggalkan. Iya,
sesungguhnya dibenak ini, saya masih ingin di sana. Tapi tempat yang mulai
asing itu berkata bahwa jika saya dan tempat itu memang ditakdirkan untuk
bersama, jika tempat itu memang ditakdirkan untuk tempat saya bernaung, maka
setinggi apapun dinding pembatas yang saya buat untuk melindungi saya, sejauh
apapun saya pergi dari sana, dan sebanyak apapun penghuni baru di tempat yang
saya tinggalkan tersebut, pasti akan ada saat saya dan tempat itu dipertemukan
kembali.
Satu hal yang pasti, dinding pembatas ini
akan selalu ada sehingga saya tidak akan menyinggahi tempat lain selain tempat favorit
yang mulai asing itu. Dibalik dinding ini, saya hanya bisa berharap siapapun
yang berada di tempat favorit saya, agar bisa merawat tempat itu semestinya. Dan
membuat tempat itu menjadi lebih baik serta agar tempat itu selalu diberkahi
oleh Sang Maha Kuasa. Aamiin
"Hidup terus bergerak, kita tidak bisa diam saja. Jalani dan jangan berhenti, bertahanlah pada pilihan, karena itu yang akan menguatkanmu" – Nova, 2016